24 Februari 2009

Tanggapan (1): Bernaridho

Akhirnya saya menerima email tanggapan resmi dari Pak Bernaridho
berkaitan dengan tulisan di blog ini. Saya sangat menghargai dan
bersedia memposting tanggapan ini agar berimbang. Berikut tulisan
email dari Bernaridho I Hutabarat:(dicetak miring)


Pak Syamsuddin Yth,

Terimakasih atas tanggapan Anda. Panjang, dan bermutu. Saya akan jawab.

> Tapi saat ini saya kecewa terhadap majalah PC-Media. Pada edisi 03/2009
> terdapat tulisan yang bernada menghina dan menghasut pembaca agar
> menjauhi software-software Free seperti Linux dan lain-lain. Tulisan
> yang dibuat Bernaridho I Hutabarat yang katanya seorang Business
> Intelligence Expert pada kolom viewpoint sangat rancu. Pemikiran yang
> dibangun tidak dilandaskan pada logika yang harusnya dimiliki
> seorang "expert". Malah isi tulisannya seperti perilaku para
> pedagang kecil tak berpendidikan di pasar-pasar kumuh.
> Yakni, usaha menjual dagangan dengan menjelek-jelekkan
> dagangan pesaing.

Sepanjang yang bisa saya pikirkan, saya tidak minta pembaca menjauhi
software-software free seperti Linux. Linux handal, banyak dipakai
sebagai server. Adalah bodoh saya minta banyak orang menjauhi Linux,
karena handal, dan lebih aman dari serangan virus.

Saya sendiri tidak sedang berdagang. Apakah saya mendagangkan Microsoft?
Tidak. Saya sampai saat ini tidak menjadi reseller Microsoft Windows ke
client saya. Saya biarkan mereka memilih. Saya recommend Windows hanya
kalau mereka memang perlu SQL Server, dan recommend Linux kalau mereka
perlu yang lain (Oracle, Postgre, MySQL). Saya sendiri sering (dan
masih) bekerjasama dengan distributor RedHat di sini, mereka membaca
tulisan2 saya di PC Media dan Warta e-gov. Mereka tidak tersinggung.

Saya berusaha pertahankan title 'Business Intelligence Expert'. Bisnis
harus melihat banyak aspek. Balanced score-card adalah contoh dimana
pelaku bisnis diajarkan untuk tidak melihat dari satu aspek saja.

Anda mungkin melihat free software hanya dari satu sisi: enaknya
konsumen. Anda tidak melihat efeknya di bidang produsen. Kalau memang
free software sangat bagus di Indonesia ini, mengapa banyak orang-orang
yang lebih diagungkan (daripada saya) dalam hal bisnis di Indonesia ini
tidak terjun di bidang itu? Tidak membuat software-software gratis kpd
seluruh bangsa Indonesia. Tolong tanya kepada mereka.

Dan kenapa Anda tidak berbisnis dengan membuat free software? Kalau
bisnis spt itu sangat bagus mengapa tidak Anda lakukan sbg produsen?
Tolong tanya diri Anda sendiri.

> Memang saat ini software propiatery yang dirajai Microsoft. Saingannya
> tengah tumbuh dan berkembang komunitas open source yang mencoba mengajak
> membuat dan menggunakan software open source. Komunitas ini dimotori oleh
> Richard Stallman dengan proyek GNU-nya. Komunitas ini menghasilkan dan
> menggunakan software yang berkualitas dan gratis yang telah lama menjadi
> saingan Microsoft. Tentu saja Bill Gates cs menjadi kebakaran jenggot
> karena pundi-pundi uangnya terus digerogoti. Saat ini makin banyak
> perusahaan besar, lembaga pemerintahan, dan individu yang menggunakan
> software open source. Nah, Stallman dan komunitas open source yang banyak
> berjasa dalam dunia IT ini disebut oleh sang "expert"-nya PC-Media
> sebagai
> "pengemis". Sungguh suatu hal yang kontraproduktif ditengah usaha
> Depkominfo mensosialisasikan gerakan IGOS (Indonesia Go Open Source).

Baik, pertama-tama Anda di sinipun menyandingkan dua istilah yang tidak
setara (lihat kritikan Anda pada paragraf lain): Stallman dan open source.
Stallman berfokus pada free software, dia sendiri tidak menyukai istilah
open source, tidak menyamakan gerakannya sebagai gerakan open source.

Tentang berjasa: berjasa kepada siapa? Di dunia ini hampir selalu ada 2
sisi. Stallman mungkin berjasa kepada banyak pemakai yang tidak mau
membayar. Tapi berjasakah Stallman kepada orang yang mengandalkan
pemasukannya sebagai programmer?

Seorang pencuri yang membawa hasil pencuriannya mungkin berjasa bagi
keluarganya karena membawa penghasilan, tapi berjasakah dia bagi orang
yang dicurinya? Maaf, analogi ini ekstrim, tetapi yang penting adalah:
kita tidak bisa melihat hanya dari satu sisi.

Saya melihat banyak orang membela Stallman hanya karena mereka dapat
enaknya aja. Manusia memang cenderung membela orang yang menguntungkan
dirinya. Maaf, bukankah kroni Soeharto juga demikian? Jadi, kita membela
karena ada keuntungan kita, seringnya begitu.

Kalau Anda mau buktikan sahihnya argumen Anda (dan bukan karena mau
enaknya aja), cobalah berkarya seperti Stallman, buat software gratis (dan
andalkah hidup Anda hanya dari pekerjaan itu), dan lihat apakah jasa yang
Anda lakukan itu bermanfaat bagi keluarga Anda. Anda mungkin dilihat
sebagai pahlawan oleh banyak orang (kalau memang Anda bisa buat software
yang sehebat Linux / Mozilla dll), tapi apakah Anda berjasa kepada
keluarga?

Keluarga saya tidak akan melihat saya sebagai kepala keluarga yang
bertanggungjawab andai saya melakukan hal spt di atas. Ttg keluarga Anda,
cobalah lakukan spt di atas, dan lihat respon keluarga Anda. BTW: saya
ragu Anda sanggup buat software sehebat Linux / Mozilla, but you can prove
me wrong.

Kembali ke point bahwa kita harus lihat lebih dari satu sisi: jangan
lihat dari sisi berjasa saja: berjasa kepada siapa? Bukankah ungkapan
'Guru pahlawan tanpa tanda jasa' juga menghadirkan sejumlah efek buruk di
negeri ini? Banyak guru mungkin menjadi pahlawan bagi orang lain tapi
tidak bagi keluarganya sendiri. Bahkan Mahatma Gandhi tidak dianggap
sebagai pahlawan oleh anak-anaknya, karena terlalu sibuk
mengurus banyak orang (dokumentasi Metro TV).

Kembali: Anda mungkin membela free software karena pingin enaknya aja.
Dan takut kalau orang-orang mulai berpikir bahwa sebagian besar orang
di dunia ini mau enaknya saja dan mulai tidak menggratiskan produk.

Sekarang tentang Depkominfo dan IGOS. Saya baru saja diskusi selama
beberapa hari dengan seorang pejabat eselon 3 Depkominfo. Dia katakan
bahwa Kominfo mengubah strategi dalam mempromosikan OSS. Dulu cara
promosinya adalah 'gratis'. Sekarang tidak. Mereka bilang: 'lebih murah
dan lebih handal'. Mereka menyadarkan orang-orang di pemerintah bahwa
membuat software itu tidak murah.

Coba pikir kenapa Kominfo berubah cara? Karena kalau mereka terus
menekankan gratis, akan ada dilema. Dilemanya: orang Indonesia jadi malas
membuat software, karena pemakai maunya (dan dibuai) oleh yang gratis.
Kita akan terus jadi konsumen, tidak jadi produsen. Model bisnis untuk
membuat software gratis tidak bagus, at least di Indonesia ini.

> Saya heran, Bernaridho yang katanya seorang "expert" menjelek-jelekkan
> komunitas free sofware dengan alasan yang tidak dapat dipertanggung
> jawabkan secara logis dan cenderung menghasut. bahwa Amerika kehilangan
> banyak uang akibat banyak menggratiskan software. Coba simak potongan
> tulisannya:

Saya tidak perlu menghasut. Beberapa programmer juga tidak suka dengan
fakta bahwa mereka tidak mendapat uang dari software. Itu tekanan yang
dialamatkan kepada Stallman dan FSF sehingga ada LGPL (Lessen GNU
Public License), lisensi yang membolehkan orang menutup source-codenya
dan bisa berbayar. Stallman setengah mati menentang ini tapi akhirnya
mengalah juga. Orang-orang yang menekan Stallman ini tidak terhasut
oleh saya, mereka melakukannya sebelum saya menulis di PC Media.

Mungkin Stallman akhirnya sadar tidak semua orang setuju 100% dengan
dia. Stallman tidak berkeluarga. Banyak orang di dunia ini berkeluarga
dan tidak ingin hidup dengan ideologi/cara yang sama dengan Stallman.

Amerika Serikat menghabiskan banyak uang melalui kegiatan charity. FSF
dan mungkin banyak badan lain adalah badan charity. Tentu saja krisis
prime mortgage juga berperan dan mungkin paling berperan. Krisis keuangan
tidak hanya tentang prime mortgage, tetapi juga tentang pendanaan ke
badan-badan charity.
Kalau Anda ikuti dengan cermat beberapa bulan awal liputan krisis keuangan
di CNN, disebut bahwa krisis tersebut akan mempengaruhi pemasukan ke
badan-badan charity juga.

Artinya? (1) Broker-broker pendanaan (saya sebut ttg broker di artikel
saya) ke badan-badan charity juga berperan dalam krisis keuangan. (2)
Krisis keuangan memaksa orang-orang di kegiatan charity untuk lebih
bertanggungjawab. FYI (3) Anda pernah membaca bagaimana pelaksana
kegiatan charity spt musik, rehabilitasi Aceh, dsb menyelewengkan
pemasukan?

> "Stalman, FSF (Free Software Fondation :red), serta perusahaan / individu
> pembuat software gratis telah melemahkan daya saing Amerika. Dengan
> membuat banyak software gratis dan memberitahu sangat banyak hal tentant
> TI, membuat Amerika kehilangan banyak uang.
>
> Bandingkan dengan Jepang yang sangat merahasiakan teknologi baterai,
> energi, dan mobil elektronik/hibrida/hidrogen. Dengan cara itu, Toyota
> sangat berjaya dalam penjualan mobil hijau, sementara GM, Chrysler dan
> Ford harus minta uang dari Pemerintah Amerika karena bangkrut".
>
> Aduh, logika yang kacau.

Saya pikir tidak kacau. Di PC Media saya lanjutkan tulisan di atas dengan
tulisan bahwa AS banyak berhutang kepada Cina. Dimana kacaunya?
Bukankah kegiatan improve Linux, membuat Free BSD butuh uang?
Karena Cina dan Jepang tidak jor-joran membuat sesuatu yg gratis,
bukankah mereka akan mendapat uang lebih banyak dan akhirnya Amerika
berhutang ke Cina? Justru sangat logis.

> Kesalahan pertama: Krisisi di Amerika bukan karena software gratis tapi
> akibat macetnya mega kredit perumahan.

Sudah saya jawab.

> Pokok tulisan kan membahas masalah TI, yakni software gratis tapi kenapa
> analoginya dalam dunia otomotif. Sejak kapa n ada perusahaan otomotif
> Amerika seperti GM, Chrysler dll yang membuat mobil gratis dan
> memberitahukan rahasia teknologi mereka kepada publik. Nggak ada coy!
> trus
> apa bedanya dengan Jepang, nggak ada. Mereka membuat mobil yang nggak
> gratis, teknologinya dirahasiakan dan dijual kepada pembeli.

Simak perbandingan saya: sejelek-jeleknya mobil GM, Chrysler, dan Ford;
lebih baik bagi AS membuat produk-produk nongratis tsb daripada membuat
produk-produk yang gratis. Minimal dengan membuat produk nongratis, GM,
Chrysler, dan Ford tidak tidak perlu minta donasi dana seperti halnya
badan-badan charity.

Saya buat analogi dengan dunia otomotif karena mudah dipahami.

> Kalaupun saat ini banyak perusahaan Amerika bangkrut adalah karena efek
> domino krisis kredit perumahan di Amerika. Tentunya kalau Bernaridho
> sering membaca dan menonton TV akan tahu bahwa saat ini tengah terjadi
> krisis global yang dipicu masalah macetnya kredit Subprime mortage di
> Amerika, bukannya akibat Amerika kebanyakan membuat software gratis. Saya
> sarankan agar Bernaridho sebelum berbicara krisis di AS agar lebih dahulu
> membaca tulisan di EOWI.

Oh ya, saya nonton TV. Saya berusaha amati dengan lebih cermat tentang
krisis keuangan walau saya bukan pakar di keuangan. Penjelasan
selanjutnya sdh saya buat di paragraf-paragraf sebelumnya. Kaitan krisis
keuangan dgn charity sudah Anda ikuti di media massa?

> Kesalahan kedua: Open Source, Freesoftware dan Software Gratis tidak
> sama.
> Lagi-lagi sang "expert" membuat kesalahan. Entah sengaja atau tidak
> menggiring opini publik bahwa software open source sama dengan
> freesoftware sama dengan software gratis. Padahal ketiga istilah tersebut
> tidak sama.

Mungkin saya membuat kesalahan, tapi di paragraf mana persisnya? Saya
pernah menulis tentang Free software dan opened source-code di Info Linux,
dan saya membedakan keduanya. Juga di Warta e-gov. Mungkin Anda tidak
membaca tulisan-tulisan tersebut.

> Open source adalah sebuah gerakan yang mengajak membuat software agar
> membuka rahasia teknologinya. Pemakai diberi kebebasan untuk mengcopy,
> mengubah dan melihat source code software Open Source. Tapi Open Source
> tidak harus gratis. Pembuat software open source bisa menjual
> softwarenya,
> menjual jasa konsultasi pemakaian softwarenya. Ternyata hal ini merupakan
> cara berbisnis yang hebat.

Penjelasan Anda ini terlalu disederhanakan, tapi saya tidak ingin debat
panjang. Singkat saja: Open Source tidak berarti Anda bebas untuk
meng-copy. Itu tergantung definisi dari lisensi. Dan ada berbagai issuer
(licensor) dari lisensi di dunia ini yang mengklaim produk mereka sebagai
open source tapi tidak 100% sama dengan definisi Anda di atas. Sebagai
contoh: ada yang memberi izin/lisensi untuk melihat
source-code tapi tidak izinkan Anda untuk distribute/copy secara bebas.

> Trus, apa itu freesoftware. Nah, software kategori ini bisa gratis tapi
> tidak harus membeberkan rahasia kode programnya kepada pemakai. Sedangkan
> istilah software gratis tidak umum dalam dunia TI karena mengandung
> banyak arti dan terlalu luas.

Benar, free software adalah tentang gratis, dan tidak tentang
source-code. Tapi kalau Anda mengacu kepada FSF, Anda harus cek ulang apa
yang Anda tulis. BTW baca juga website FSF tentang istilah 'gratis'.

> Kesalahan ketiga: Donasi di samakan dengan Mengemis.
> Nah, inilah yang saya sebut menjelek-jelekkan. Donasi tidak sama dengan
> pengemis. Donasi biasa digunakan perusahaan pembuat software open source
> (walau tidak selalu) sebagai cara untuk mencari dana riset. Biasanya
> pemberi donasi adalah individu/perusahaan yang merasa puas karena telah
> mengunakan software open souce. Jadi tidak ada paksaan. Donasi diberikan
> oleh pengguna software open source, trus merasa puas, merasa berhutang
> budi dan selanjutnya berpikir untuk ikut menyumbang kepada pembuat
> software. Donasi diberikan atas dasar adanya jasa dan bersifat sukarela.
> Toh, tidak ada atau jarang sekali pemberi donasi diluar pengguna software
> open source.

Donasi mungkin tidak 100% sama dengan mengemis. Tapi sekarang begini,
bisnis di banyak industri lain tidak mengandalkan pemasukan mereka dari
donasi. IndoMie, Telkomsel, Airlines, dll tidak mengandalkan pemasukan
mereka dari donasi.

Anggap suatu hari orang tidak tertarik lagi mendanai FreeBSD atau FreeDOS,
sehingga produk ini discontinued. Apa artinya? Dalam kacamata bisnis,
mendapatkan uang dari donasi = mengemis. Mereka terus menerus andalkan
uang dari donatur. Pebisnis tidak andalkan uang dari donatur.

Solusi yang akhirnya dibuat orang-orang adalah dengan membuat badan
charity. Ini memang lebih halus daripada mengemis, saya setuju. Tapi
kalau mengatakan meminta donasi != mengemis dalam hal membuat
produk-produk seperti software, apalagi untuk bersaing dengan produk
komersial, saya 50% setuju 50% tidak setuju. Itu juga saya berlakukan ke
diri saya dalam hal pendanaan Nusa.

Sebenarnya Microsoft bisa saja berpikir ada penyalahgunaan terhadap
donasi ke FSF. FSF bisa dituduh untuk bersaing dengan entitas bisnis
tapi memakai cara donasi. Saya bukan ahli hukum, saya hanya melihat
ini bisa jadi kasus hukum (persaingan usaha) yang menarik untuk
ditelaah, terlepas dari siapa yang akan menang.

Contoh: pernah ada debat tentang Yayasan Pendidikan di Indonesia.
Yayasan seyogianya tidak mendatangkan keuntungan, tapi toh banyak
orang membuat yayasan sebagai kedok. Orang2 yg membuat lembaga
pendidikan tanpa membuat yayasan mempermasalahkan orang-orang yang
berkedok 'non-profit' tapi bersaing secara TIDAK SEHAT dengan
orang-orang yang jelas profit-oriented. Kalau mau bertarung secara
jantan, ya head-to-head, jangan pakai cara yayasan.

> Sedangkan mengemis adalah meminta uang tanpa ada imbal jasa sama sekali.
> Sekedar menanaikan tangan dan mengharapkan kemurahan hati pemberi.
> Pengemis biasanya dianalogikan dengan gembel, kumuh, tak berpendidikan,
> meminta-minta di tengah jalan.

Tulisan sering ada konteksnya. Konteks saya adalah donasi dan charity
dalam kegiatan membuat software. Apakah orang-orang (terutama brokernya)
selalu tidak sekedar mengharapkan kemurahan hati? Kadang-kadang donatur
mau menyumbang dan tidak memiliki banyak harapan, mirip kepada apa yang
kita lakukan kepada pengemis.

> Nah, beda dong dengan komunitas atau perusahaan open source. Mereka
> bekerja, tanpa dibayar membuat software, memberitahukan rahasia kode
> program. Pengguna bebas memakai, mengkopi, mendistribusikan dan mengubah
> kode program. Wajar dong kalau mereka mengetuk hati para pengguna yang
> mempunyai hati yang baik dan sedikit kelebihan uang untuk membantu dengan
> donasi. Tidak ada paksaan. Dan agar pembaca tidak dibodohi tolong
> diingat, donasi tidak sama dengan mengemis.

Sudah dijawab

> Saya kecewa berat dengan PC-Media dan menyatakan akan berhenti
> berlangganan jika bulan depan Bernaridho masih mengisi tulisan di
> viewpoint. Harusnya pihak redaksi PC-Media selektif dalam memilih
> penulis.

> Perhatikan sisi keahlian dan kapasitas penulis. Jangan sampai tulisan
> bernada menghasut karena akan membodohi pembaca untuk menjauhi open
> source. Tentu hal ini bertentangan dengan semangat pemerintah
> memasyarakatkan open source melalu program IGOS-nya. Semoga saja
> kesalahan tulisan ini bukan akibat trik dagang murahan, bukan pula
> karena penulis mendapat order dari Microsoft,

Sebelum saya menulis, saya membaca banyak ttg free software. Saya bahkan
sudah kuliah di IF ITB saat free software belum menggema ke Indonesia.
Saya bicara dengan praktisi di dalam dan luar negeri tentang free
software, melihat blog dari orang yang pro dan kontra.

Semangat saya belum tentu bertentangan 100% dengan semangat pemerintah.
Saya sdh bicara dengan eselon 1, eselon 2, dan eselon 3 pemerintah.
Saya tidak mendapat order dari Microsoft. Tuduhan Anda berlebihan.

> atau bukan pula karena PC-Media tengah menjalin kemesraan dengan
> Microsoft yang tengah berusaha memonopoli dunia.
> Semoga kritik ini membuat PC-Media lebih fair dan berimbang dalam
> memberitakan sesuatu hal, terutama di dunia TI.

Semua ini saya serahkan kepada PC Media. Seperti pernah saya ungkapkan
kepada seorang pembaca: tidak ada yang abadi di dunia ini. Saya bisa
berhenti menulis di PC Media karena berbagai hal: tidak dikehendaki
redaksi, tidak dikehendaki pembaca, saya sudah bosan menulis, atau saya
punya kegiatan lain yang terlalu menyita waktu. Tidak ada yang abadi.

Saya sampaikan bahwa berat menulis di PC Media. Saat ini saya belum
tuntaskan tulisan untuk bulan Mei karena saya harus banyak membaca tentang
bisnis sekuritas. Saya ingin menulis dengan bermutu, dan sekuritas jelas
bukan bidang saya. Jadi, menulis tentang sekuritas ini, kaitannya dengan
bisnis TI merupakan tantangan; dan sekaligus menjawab beberapa tanggapan
pembaca.

Saya ulangi, tidak mudah menulis untuk PC Media, saya seorang yang
perfeksionis, dan itu sebab saya tidak mau menulis di banyak media massa
dan blog.

Saya ingin menulis tulisan bermutu, dan siap untuk menjawab keberatan2
dari pembaca. Sebelum saya menulis artikel yang Anda sanggah ini, saya
sudah siap dengan jawaban-jawaban ini. Itu sekelumit tentang diri saya.

Anda punya blog. Semoga Anda bisa publikasikan jawaban saya ini.
Anda inginkan pemberitaan yang berimbang kan? Saya juga.

Salam,
Bernaridho

Dengan demikian semoga kesalahfahaman ataupun ketidakcocokan dengan fakta
dapat terjawab dengan adil. Saya tertarik untuk menanggapi tulisan ini
dan akan segera memposting tanggapa saya.

Salam untuk Pak Bernaridho semoga diskusi ini terus berlanjut demi membuka
wawasan pembaca apa untung dan ruginya free software.

33 komentar:

  1. hhhmmmmm.. ditanggapi juga ya pak guru.. kayaknya seru banget...

    BalasHapus
  2. diskusi yg konstruktif. komunikasi fair yg macam begini yg bisa membuat negeri ini maju.

    salut untuk Pak Syam dan Pak Bernaridho

    BalasHapus
  3. Ditunggu diskusi selanjutnya, saya hanya berharap, dalam masalah ini, jangan sampai ada tuduhan/caci maki yang tidak sepantasnya.

    Salut buat temanku Udin dan juga Pak Bernaridho yang bersedia menjawab kritikan Udin.

    BalasHapus
  4. Wah ini dia pak, diskusi yang fair dan sangat demokratis. Kalau banyak orang yang bisa "elegan" menerima kritik begini betapa "indahnya" dunia ya....?
    Sayangnya debat terbuka macam gini kok susah ya diwujudkan dalam dunia pendidikan. Banyak pejabat pendidikan atau praktisi pendidikan sulit menerima kritik, dan kritik selalu dianggap negatif melulu.

    BalasHapus
  5. Ada hikmah yang bisa saya ambil dari diskusi yang "sebagian" tidak saya mengerti.
    1. Berani mengkritik dan berani di kritik
    2. Teruslah menulis dengan tulisan yang bermutu
    3. Selalu siap bertanggung jawab dengan apa yang kita tulis

    BalasHapus
  6. bujur din gambut ai...
    kaya itu nang kawa di harap...

    BalasHapus
  7. postingan yang sangat-sangat bermutu...

    BalasHapus
  8. Wuih.. diskusi yg berat.. semoga berlanjut dan hasilnya membangun..

    dan saya setuju jg dgn udin gambut..

    2 jempol buat semua deh.. :D

    BalasHapus
  9. emmmmm satu sisi dari bisnis..satu sisi lagi konsumen....saya pro konsumen dong...

    BalasHapus
  10. dua2nya punya posisi tawar yang sama, produsen pengen untung..konsumen juga pengen untung... jadi pilih mana?

    BalasHapus
  11. Good... Bagus-bagus... Ini yang bermutu... Wajar dalam hidup pasti ada perbedaan, tergantug kita mau ngikutin yang mana... Semua pilihan berada ditangan kita masing-masing... Kalo aku sih tetp pilih yang "Gratisan" :D
    (ketauan ya pak, maunya yang gratis terus) Jadi malu...

    BalasHapus
  12. *pak RT berujar : ada apa nih..ada apa nih
    knapa ribut-ribut...ayo kita selesaikan di rumah saya..

    BalasHapus
  13. saya barusan diskusi dengan teman. intinya linux untuk saat ini lebih tahan banting dalam persoalan virus dibanding windows.
    nah.....

    BalasHapus
  14. Diskusi yang hangat dan fair. Salut buat pak Syams. Kalo diskusi selimut jepang bisa sama saya atau ahli-nya, hehehe...

    BalasHapus
  15. Ini baru diskusi seru. Baguslah, membuka wawasanku tentang dunia Linux yang selama ini tak kusentuh. Jawab, Pak Syam, biar tambah seru. Urang Banjar juga ngerti IT. Saran saya, bahasanya agak sedikit lebih bersahaja lagi. Biar kesannya tidak sedang berperang.

    BalasHapus
  16. Sangat melegakan bagi yang ikut terperanjat dengan tulisan pak bernaridho... beliau memang sangat pintar dan tegas meski kadang extreem dan menyakitkan...jawaban beliau tentu harus dijadikan renungan mendalam demi kemajuan TI di Indonesia sehingga terlepas dari belenggu pembajakan dan rendahnya kreatifitas...upaya yang telah dan terus dilakukan beliau dengan program NUSA..semoga bisa diikuti 'orang-orang pintar' yang lainnya..BTW bukannya 'orang pintar' di negeri ini yang dimaksud adalah semacam dukun ponari dan paranormal ..hmmm

    BalasHapus
  17. Wah diskusinya asyik banget, postingan yg oke
    saya akan ikuti terus

    BalasHapus
  18. Salut buat Pak Bernaridho yang bersedia menjawab kritikan Udin, semoga berbesar ini fair dan dengan kepala dingin

    BalasHapus
  19. Mantap, seharusya org maju harus bisa terima kritikan

    BalasHapus
  20. din, lanjuktan perjuanganmu

    BalasHapus
  21. @IFOELL:
    hmmm..ya tenkyu untuk Pak Bernaridho atas tanggapannya..

    @Pakacil:
    Tenkyu atas dukungan pakacil..tapi sampeyan ikut yang mana?

    @ipulborneo:
    yap, otak boleh panas tapi kepala harus tetap dingin.

    @mulyati:
    Saya siap mengkritik dan siap untuk dikritik, selama itu dapat meningkatkan kemajuan kita bersama..

    @udin gambut:
    Benar sekali julak ai. Saya siap bertanggung jawab atas apa yang saya tulis makanya identitas asli saya cantumkan di blog ini dan boleh di cek kebenarannya (bukan anonim).

    @baburinix:
    bujur julak ai..

    @ichal;
    tengkyu boz...moga sampeyan juga pendukung free software dan open source..

    @aidicard:
    Setuju. Dan mari kita acungkan jempol satu lagi untuk komunitas free software dan open source yang telah susah payah membikin software untuk digratiskan..

    @budimeong:
    konsumen adalah RAJA !!!

    @alam:
    pilih yang menguntungkan dong. Kalau ada gratis ngapain harus bayar.

    @Gusti:
    Nggak perlu malu..gratis dan halal 100%. Yang harus malu kalau membajak kan sama aja mencuri hak orang lain..malulah pembajak mari gunakan freesoftware dan open source..

    @Nyante Aza Lae:
    Siap Pak RT..tapi nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Situasi aman dan terkendali..

    @Zulmasri:
    Yap benar sekali. Saya berani mencolokkan flashdisk teman yang terinfeksi banyak virus. Setelah dihapus virusnya, ambil filenya, lalu diformat itu flashdisk. hayoo..kalau diwindows apa anda berani begitu???

    @alris:
    benar..tapi ditunggu nih kapan kiriman selimut jepang nya via pos, kok belum nyampe..

    @racheedus:
    benar..segera akan saya jawab. Tapi segi bahasa memang halus lebih diperhalus dan argumen serta nalar harus lebih tertata rapi. Yap, namanya juga masih harus banyak belajar..

    @adi:
    btw...Pak Bernaridho dengan NUSA nya juga meminta DONASI di websitenya..kalau memangganggap donasi pengemis dan nggak baik, seharusnya yang pertama jangan melakukan adalah Pak Bernaridho sendiri.

    @masterpis:
    yap..tunggu aja diskusi selanjutnya..

    @Islam World:
    yah, semoga kepala tetap dingin..

    @fadli raifa81:
    sip..trus anda mendukung yang mana?

    @Makmur Fadli:
    Siap bos..tapi dukung dong..

    BalasHapus
  22. Apakah artikel yg dibahas Syams Ideris di PC Media seperti URL berikut ini: http://mandriva-user.or.id/forum/download/file.php?id=44. Bila iya, banyak pendapat di blog ini yg tidak ada di situ, misalnya tentang mengemis. Harap dilengkapi denga rujukan yg cukup sehingga pembaca bisa jernih menilai.

    Berbagai wacana pemikiran yg harusnya ditanggapi wajar, bukan malah diserang dengan kata-kata penghakiman seperti 'pembodohan pembaca'. Bukankah Syams di sini yg berusaha begitu, yaitu memaksa pembaca menerima wacana Free Software seperti yg dia inginkan? Menuduh Bernaridho menjelek-jelekkan komunitas free sofware, padahal yg dia lakukan adalah menjelek-jelekkan Bernaridho dengan tanggapan yg sarat emosional, misalnya dengan kalimat "perilaku para pedagang kecil tak berpendidikan di pasar-pasar kumuh".

    Di era keterbukaan sekarang, tidak layak seseorang melarang pendapat yg berseberangan. Bahkan mendirikan media massa tidak butuh SIUPP lagi. Lihat komentar Syams yg sangat arogan dan otoriter: "Saya kecewa berat dengan PC-Media dan menyatakan akan berhenti berlangganan jika bulan depan Bernaridho masih mengisi tulisan di viewpoint." Masalah anda ingin berhenti berlangganan itu urusan anda, bukan malah melarang orang menyampaikan pendapat.

    Tanggapan langsung dari Bernaridho ini menurut penilaian saya cukup obyektif dan rasional. Wacana yg dimunculkan dari URL yg saya tulis di atas layak sebagai bahan pemikiran, terutama bagi produsen software. FSF dengan dedengkotnya Richard Stallman seringkali memunculkan kontroversi. Jangan lupa pula bahwa free software maupun open source itu bisa hidup karena ditunjang secara operasional (terutama) oleh perusahaan yg bersifat komersial. Baik usaha komersial maupun non komersial akan selalu saling melengkapi sehingga tidak perlu ditanggapi berlebihan atau malah dibenturkan. Semua ada peran dan tempatnya masing-masing.

    BalasHapus
  23. Halo pak Syams, terimakasih untuk sharingnya.

    Tulisan Bernaridho itu cukup ngawur, dan mempermasalahkan hal yang sebetulnya BUKAN masalah.

    Karena GPL itu SUDAH mengizinkan produsen untuk mengenakan biaya pada produknya. DAN ini sudah dilakukan oleh berbagai vendor produk open source.

    Saya tidak akan membahas lagi artikel tersebut karena sudah dibahas dengan cukup jelas & panjang lebar di milis telematika, linux-aktivis, id-ubuntu, dll

    Saya akan berkomentar mengenai satu kekeliruan besar lagi pada tulisannya disini :

    Beberapa programmer juga tidak suka dengan
    fakta bahwa mereka tidak mendapat uang dari software. Itu tekanan yang dialamatkan kepada Stallman dan FSF sehingga ada LGPL (Lessen GNU Public License), lisensi yang membolehkan orang menutup source-codenya dan bisa berbayar


    Penjelasan ybs itu keliru TOTAL.

    Lisensi LGPL itu TIDAK mengizinkan untuk menutup source code.

    Lisensi LGPL itu dibuat untuk menghindari sifat "viral" pada lisensi GPL.

    Ybs sebaiknya membaca lagi artikel misalnya seperti yang ini :

    http://en.wikipedia.org/wiki/GNU_Lesser_General_Public_License#Differences_from_the_GPL

    Sebelum membuat berbagai statement-statement yang ngawur dan bisa membuat keliru orang banyak.

    Oh ya saya tidak bertedeng aling-aling disini / saya blak-blakan saja, karena Bernaridho bukan orang awam / yang tidak tahu. Beliau jelas-jelas sudah mengaku sebagai "Business Intelligence EXPERT".
    Jadi saya kira cukup aman untuk berasumsi bahwa beliau sebetulnya sudah tahu & paham, namun (entah kenapa) malah menuliskan berbagai hal yang aneh-aneh ini.

    Mudah-mudahan selanjutnya bisa jauh lebih baik lagi.

    Terimakasih untuk izinnya bagi saya berkomentar disini.

    BalasHapus
  24. Tidak ada itu L pada LGPL sebagai lessen. Yang ada lesser. Huruf R dan N di keyboar standar lokasinya jauh. Typo? Ahmasasi..
    Dan lebih dari itu, pemahaman pak bernard tentang lgpl salah total.

    Sebentar lagi pak bernard mau menulis tentang sekuritas, padahal dia sendiri jelas2 bilang, itu bukan bidangnya.
    Anda benar, bos ben. Hentikan menganggap itu tantangan. Tulislah yang anda mengerti, jangan yang bukan bidang anda.
    Jika saya menulis sebuah tulisan dengan judul "Bisnis expert dalam kacamata seniman" tentunya sudah salah, bukan?

    BalasHapus
  25. kayaknya dia berulah lagi deh!
    http://mandriva-user.or.id/forum/download/file.php?id=44

    BalasHapus
  26. ah, dogol. gpl versi mana yang menghalangi produsen/programmer untuk memasang tarif atas produk/programnya?

    sekelumit dari website fsf: http://www.fsf.org/licensing/essays/selling.html

    "Many people believe that the spirit of the GNU project is that you should not charge money for distributing copies of software, or that you should charge as little as possible — just enough to cover the cost.

    Actually we encourage people who redistribute free software to charge as much as they wish or can. If this seems surprising to you, please read on."

    lalu ngapain sampai sekarang masih ngotot dengan istilah _opened_ source? opened sebagai lawan kata closed? kalau merasa pemahaman bahasa inggrisnya cukup bagus tolong koreksi semua tanda yang sering digantung di pintu toko2/kantor2 di amerika, inggris, australia, singapura dan negara2 lain yang menggunakan bahasa inggris dari "open/closed" menjadi "opened/closed".

    expert dari hongkong.

    BalasHapus
  27. > Trus, apa itu freesoftware. Nah, software kategori ini bisa gratis tapi
    > tidak harus membeberkan rahasia kode programnya kepada pemakai. Sedangkan
    > istilah software gratis tidak umum dalam dunia TI karena mengandung
    > banyak arti dan terlalu luas.

    anda sangat salah dalam mengartikan free software itu sendiri, coba baca kalimat yang anda tulis "apa itu freesoftware. Nah, software kategori ini bisa gratis tapi
    tidak harus membeberkan rahasia kode programnya kepada pemakai" . anda sendiri belum paham , apa itu free software, free software seharusnya di definisikan tidak harus gratis, tetapi memberikan kebebasan pada pengguna untuk, mengetahui source code, mendistribusikan ulang software tersebut, memodifikasi software tersebut..

    email keberatan anda kepada ben, malah menjatuhkan free software itu sendiri.. karena anda membela free software tapi anda belum mengerti sepenuhnya apa itu free software

    salam
    ali kusnadi

    BalasHapus
  28. @Ogudz:
    Anda salah, saya tidak mengomentari artikel seperti pada url http://mandriva-user.or.id/forum/download/file.php?id=44. Tapi artikel pada edisi PCMedia 03/2009.

    Di edisi ini inti tulisannya jelas: menyamakana donasi dengan mengemis. Padahal beda (sudah saya bahas). Bahkan sang penulis sendiri pada website dgn NUSA-nya juga meminta donasi pada pengunjung (pengemis juga?). Harusnya konsisten dong, kalau menganggap donasi nggak baik, maka yang pertama jangan meminta donasi harusnya penulis sendiri.

    Yup, saya memang kecewa dan emosional membaca tulisan yang menjelek-jelekkan dunia open source dan free software, yang mana keduanya memberikan keuntungan pada kita berupa biaya minimal dan transfer teknologi (source code dibuka) kok malah dijelek-jelekkan dengan label pengemis. Logika dari mana itu...dari hongkong?

    @Harry Sufehmi:
    Trims atas dukungan dan penjelasannya....hidup fsf!! hidup open source!! hidup Linux...semoga terus menggerogoti jendela yang berpuluh-puluh tahun telah membuat sang empunya menjadi #1 terkaya didunian.

    @udienz:
    Wah, saya baru membaca ini..walaupun artikel yang saya kritik bukan itu.

    @ali kusnadi:
    1. Yap, mungkin saya kurang teliti free software. Trims atas koreksinya, saya akui kalau saya bukan expert dalam dunia TI..tapi inti masalah artikel tsb bukan disana, tapi intinya: "penulis mengatakan bahwa donasi sebagai salah satu sumber dana dari free software dan open source sebagai MENGEMIS, dan mengatakan bahwa software gratis merupakan sebab krisis finansial di AS"...logika dari mana..dari Hongkong? atau bung Ali dapat menjelaskan agar lebih masuk akal masalah diatas daripada Pak BEn?

    Jadi kesalahan saya bukan berarti menjatuhkan free software itu sendiri...hidup freesoftware...kalau ada yang murah (gratis), bebas dimodifikasi, bisa dipelajaran....trus buat apa beli yang mahal, tertutup dan hanya bisa diinstall di satu komputer...

    waduh, aneh saja logika pendukung closed source semacam dari Jendela...mereka rela bayar mahal untuk software yang penuh bug, virus dan memerlukan resource hardware tinggi...

    BalasHapus
  29. memang begitulah dunia ini diciptakan. berpasang-pasangan, berpolarisasi, yin dan yang. Agama saya mengajarkan agar tidak berlebih-lebihan dalam segala urusan. tidak lebih kekanan dan juga tidak lebih kekiri. Yang tengah-tengah itulah yang terbaik. itulah general guidance-nya. dalam kehidupan sehari-hari tentulah konklusi pilihannya bisa bervariasi. pada poin ini kita diberi kewenangan untuk memilih berdasar sudut pandang yang dirasa cocok oleh kita. ini sudah include sisi positif dan negatifnya.dari sudut pandang saya sebagai user yang ingin mendayagunakan semaksimal mungkin isi kantong dan isi kepala, tentulah pilihan saya open source. jadi ingat pengalaman waktu memakai ubuntu pertama kali, butuh setengah tahun hanya utk men-detect-kan winmodem hingga saya bisa surfing internet dengan perasaan bangga dan puas tak kepalang tanggung. Bagi orang yang produktifitas kerjanya tergantung dari internet, mungkin kasus saya tidak boleh terjadi. but bagi saya itu no big deal. jadi tergantung dari keadaan dan sudut pandang kita. Nah, terminologi "kita" disini kita artikan apa?. kita pribadi? kita "masyarakat" atau kita "bangsa". Saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan milik pemerintah. laporan-laporan kedinasan dibuat melalui aplikasi-aplikasi yang hanya bisa dijalankan melalui OS jendela. jadi "imposible" untuk menghemat uang lembaga yang notabene adalah uang rakyat dengan memakai linux. bila dalam lembaga saya ada 3 PC dan laporan-laporan didistribusikan ke ketiganya agar lebih cepat selesai, maka lembaga saya harus membeli 3 lesensi OS tadi, yang lagi-lagi mamakai uang rakyat. dan tampaknya kami tidak sendirian. lembaga-lembaga sejenis yang bertebaran di sekitar lembaga saya juga mengalaminya. dan tiba-tiba kita tercengang karena hampir di seluruh Indonesia tercinta seperti itu. Sekali lagi saya berbicara dari sudut pandang "kita" sebagai bangsa yang masih tertatih-tatih ekonominya. berapa miliar uang rakyat yang dihabiskan hanya untuk membeli lisensi? padahal tanpa membeli lisensipun produktifitas kerja gak terganggu. kita bisa memakai open source. masih banyak desa-desa di negeri ini yg belum punya puskesmas, jalan/jembatan, bahkan gedung sekolah!. uraian Bernaridho sama sekali tidak saya salahkan. Bila suatu saat nanti pemakain open source mewarnai negeri ini bahkan dunia, saya yakin akan ada "casualties" seperti yang diungkapkan Bernaridho. tapi saya yakin pula peradaban dunia tidak akan berhenti karenanya. Peradaban akan tetap menemukan jalannya. Sementara untuk Indonesia, terutama lembaga pemerintah yang dijalankan dengan uang rakyat, cukuplah open source. Demi membangun Puskesmas, jalan dan jembatan, pasar tradisional, sekolah-sekolah di pedalaman-pedalaman dan daerah-daerah perbatasan dimana masyarakatnya bahkan tidak tahu apa itu listrik!

    BalasHapus
  30. 2009/3/14 Yeni :
    > Setahu saya Pak Bernaridho adalah salah satu orang yang concern dengan nasib
    > developer/programmer, karena beliau sendiri adalah seseorang yang memutuskan
    > untuk tetap menjadi seorang developer/programmer meskipun bisa jadi beliau
    > bisa menjadi lebih dari itu.
    >
    > Beberapa artikel di PC Media yang beliau tulis memang tajam dan menggelitik,
    > dan lagi-lagi sering mengkritik developer yang sering cuma ikut-ikutan.
    >
    > Bahkan dalam paragraf terakhir, saya tidak merasa itu sebagai hasutan. Bagi
    > saya hal tersebut lebih kepada sindiran kepada developer dengan gaya bahasa
    > beliau yang memang kadang terdengar kasar.

    Bicara kasar tidak masalah jika isinya berkualitas.

    Sayangnya, tidak demikian kasusnya dengan berbagai artikel Bernaridho ini.

    Contohnya bisa dibaca disini :
    http://syamsuddin-ideris.blogspot.com/2009/02/tanggapan-1-bernaridho.html (ada komentar saya)

    Disitu saya bahas beberapa fakta yang keliru total.

    GPL = tidak bisa berbayar ? (btw; pembahasan oleh ybs tentang soal ini di artikel PC Media cukup menghasut)
    LGPL = closed source ?

    Speechless saya.

    Kalau orang awam di topik F/OSS, masih bisa dimaklumi. Walaupun tentu tetap disayangkan, karena artikelnya ini ditayangkan ke publik. Sehingga orang jadi mendapat informasi yang keliru total.

    Tetapi Bernaridho bukan orang awam. Pengakuan ybs :

    --------------------------
    Sebelum saya menulis, saya membaca banyak ttg free software. Saya bahkan sudah kuliah di IF ITB saat free software belum menggema ke Indonesia.
    --------------------------


    Makin parah lagi, karena tidak hanya fakta, namun berbagai alur logikanya juga cukup kacau :

    -----------------
    Saya pikir tidak kacau. Di PC Media saya lanjutkan tulisan di atas dengan
    tulisan bahwa AS banyak berhutang kepada Cina. Dimana kacaunya?
    Bukankah kegiatan improve Linux, membuat Free BSD butuh uang?
    Karena Cina dan Jepang tidak jor-joran membuat sesuatu yg gratis,
    bukankah mereka akan mendapat uang lebih banyak dan akhirnya Amerika
    berhutang ke Cina? Justru sangat logis.
    -----------------

    AS jadi berhutang kepada Cina gara2 membuat Linux & Free BSD ........... ?? :-D
    (mules saya, he he)

    Perasaan saya Bush deh yang membuat hutang Amerika langsung naik drastis sejak masa pemerintahannya. Oh wait, saya baru ingat di diskusi lainnya, sepertinya ybs dia sepaham dengan Bush.
    Jadi, bukan Bush yang salah. Tapi, Linux & Free BSD..... LOL (makin mules)

    Anyway, masih banyak lagi logika/argumentasinya yang juga lumayan kacaunya, but I'll left that as an exercise to the readers.
    Have fun !



    > Saya justru malah penasaran majalah.linux@gmail.com (siapa nama Anda?) yang
    > menulis dan melakukan cross posting kemana-mana, bahkan tanpa menyebutkan
    > identitas jelas.

    Search "majalah.linux" di Google menghasilkan URL ini : http://majalah-linux.baliwae.com/

    Di URL ini ada detail ybs : http://majalah-linux.baliwae.com/about/
    Nama asli ybs juga sudah saya temukan (berikut dengan rekening banknya :-)

    Di Internet, saya kira biasa berkomunikasi dengan nickname (atau saya yang jadul ? hehe, maklum, dari zaman IRC / BBS)
    Yang penting, saya kira, adalah isi pesannya.

    Because on the Internet, no one knows if you're a dog :-) (*)



    Salam, HS


    (*) barusan saya membaca iklan jasa, di salah satu forum kaskus.us, untuk "membuat screenshot palsu PayPal".
    Yak saudara-saudara, jika ada iklan "uang panas US$ 3 juta modal hanya Rp 60 ribu !!!", dan menunjukkan screenshot PayPal sebagai buktinya......... well, sekarang kita tahu kenapa bisa ada angka US$ 3 juta di rekening PayPal ybs ;-)

    Atau - ada foto cheque US$ 1 juta sebagai "bukti sukses" ybs ? I say "Photoshop" :-)

    Ada-ada saja.......

    BalasHapus
  31. Oh ya, komentar saya sebelumnya adalah copy-paste dari email saya ke milis Telematika.

    Tambahan, saya tergelitik lagi dengan komentar ybs sbb :

    -----
    Dan kenapa Anda tidak berbisnis dengan membuat free software? Kalau
    bisnis spt itu sangat bagus mengapa tidak Anda lakukan sbg produsen?
    Tolong tanya diri Anda sendiri.
    -----

    Saya sampai nyengir sendiri membacanya, kok bisa statement ini keluar dari orang yang mengaku paham bisnis ?

    -----
    Saya berusaha pertahankan title 'Business Intelligence Expert'. Bisnis
    harus melihat banyak aspek.
    -----

    Bisnis F/OSS (free / open source software) pada saat ini belum menarik bagi banyak pihak karena EKOSISTEMNYA BELUM TERBENTUK.

    Yang berbisnis F/OSS pada saat ini di Indonesia adalah pionir.
    Pionir pada suatu topik bisnis pasti akan mengalami berbagai kesusahan dan kesulitan. Profitnya juga belum bisa maksimal, karena masih banyak kendalanya. Apalagi jika modalnya tidak sebesar para konglomerat.

    Jadi aneh juga kenapa Bernaridho heran, karena sebetulnya pada situasi sekarang ini, wajar sekali jika masih amat sedikit pebisnis F/OSS yang ada.

    Anyway, kalau ekosistem sudah terbentuk, maka akan lebih nyaman untuk berbisnis. Situasi yang nyaman ini, otomatis, akan mengundang mereka yang memang memiliki naluri bisnis.

    Sementara itu, biarlah kami berusaha untuk membuatkan ekosistemnya dulu. Ekosistem dimana semua orang bisa menikmati software canggih yang berkualitas --- yang kaya bisa menikmati layanan ekstra, sedangkan yang tidak mampu tetap bisa mengakses software canggih tsb.

    Ekosistem dimana semua orang memiliki pilihan, dan kebebasan.

    Saya kira, ini adalah tujuan yang sangat baik.

    Thanks.

    BalasHapus
  32. Menarik sekali ketika saya membaca debat terbuka anda dengan Pak Bernaridho.
    Saya melihat sebenarnya di sini tidak ada yang benar dan yang salah.
    Ini cuma masalah kiblat paham IT Ideologi mana yang bisa dipakai dan lebih tepat untuk 'core business' kita? Apakah kita ingin ke Closed Source? atau kita ingin Free Software? atau gimana?
    Free Software seperti Mozilla, Google Chrome, dll itu bagus menurut saya dan mereka juga bisa mendapatkan uang (rata2 dari donasi) tetapi mungkin sebagian orang juga menganggap kalau Free Software tidak cocok dengan mereka seperti Microsoft, SAP, dll. Menurut saya ini tidak salah, karena mereka punya oponion masing2, punya prinsip masing2.
    Sama dengna Open Source dan Closed Source.
    Setiap kiblat ini punya strong dan weakness masing2. Saya melihat justru peta kekuatan software business di dunia termasuk mungkin di Indonesia berubah dengan adanya gerakan FSF & Open Source ini.
    Memang benar juga kalau Pak Bernard mengatakan jika seorang programmer harus menggratiskan softwarenya darimana dia mendapatkan dana untuk biaya hidup & risetnya? Bagaimana dengan perkembangan bisnis software di Indonesia yang harus bersaing juga dengan FSF yang notabene dari luar?
    Tetapi benar juga jika Pak Syamsuddin mengatakan jika tidak semua karya cipta harus dinilai dengan uang? Bagaimana jika ada seseorang memang senang menggratiskan dengan hasil karyanya demi kebaikan semua orang?
    Itu tergantung dari diri kita sendiri, dimanakah kiblat IT kita berada?

    sekian dari saya...

    thank's

    Salam IT

    BalasHapus
  33. > @adi:
    > btw...Pak Bernaridho dengan NUSA nya juga
    > meminta DONASI di websitenya..kalau
    > memangganggap donasi pengemis dan nggak baik,
    > seharusnya yang pertama jangan melakukan
    > adalah Pak Bernaridho sendiri.

    Tentang hal ini, gua pikir Bernaridho sendiri tau bahwa dia tidak akan mendapat donasi. Orang Indonesia ini kan pelit kalau untuk pengerjaan software seperti Nusa itu. Kalau nyumbang bencana alam mungkin enggak pelit sih.

    > GPL = tidak bisa berbayar ? (btw; pembahasan
    > oleh ybs tentang soal ini di artikel PC Media
    > cukup menghasut)

    Apa yang dimuat di URL FSF yang disebut Bernaridho sudah cukup menjawab pertanyaan bahwa GPL mengimplikasikan free software, software yang gratis.

    > btw...Pak Bernaridho dengan NUSA nya juga
    > meminta DONASI di websitenya..kalau
    > memangganggap donasi pengemis dan nggak baik,
    > seharusnya yang pertama jangan melakukan
    > adalah Pak Bernaridho sendiri.

    Seperti dah gua sebut, enggak yakinlah bernaridho sangat mengharap donasi. Mungkin dia iseng aja. Dia sendiri kan pekerja kantor biasa, yang hidupnya nggak bisa bergantung dari mengemis.

    Coba pikir gini deh. Ada seseorang yang menjadi pengemis karena satu dan lain hal, dan dia menulis 'apakah saya harus menjadi pengemis?' itu justru berarti bahwa dia tidak mengingikan keadaan seperti itu, ingin keadaan yang lebih baik. ya kan?

    Nah, kalaupun bernaridho mengemis, dia mempertanyakan apakah seseorang yang membuat produk perangkat lunak harus menjadi pengemis? dia jelas tidak suka keadaan seperti itu, dan mengajak kita berpikir apakah keadaan seperti itu wajar.

    p syamsi sendiri sampe sekarang tidak membuat free software kan? jadi perkataan bernaridho bahwa anda mau enaknya saja tetap masih relevan

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar anda.