13 Oktober 2008

Bajayau..Oh..Bajayau(1)

Pagi itu, awal Januari 2004. Ratusan anak muda berbaju hitam putih hilir mudik di Pendopo Kabupaten HSS di suatu pagi lima tahun lampau. Sebagian ada yang duduk di kursi yang disediakan panitia sambil berbincang dengan kenalan sesama CPNS di sampingnya. Adapula yang sambil berdiri menyapa rekan yang jauh dipojok ruangan. Tapi sebagian besar berbaris rapi antri ke depan untuk menerima pembagian SK CPNS yang akan mereka terima.

Saya duduk gelisah membuka map biru tua yang baru saja saya terima. Hati berdebar, sulit digambarkan perasaan saat itu yang campur aduk antara senang, bahagia, terharu dan tidak percaya bahwa saya diterima jadi CPNS. Maklum ini merupakan pengalaman pertama melamar kerja setelah lulus kuliah di FKIP Unlam bulan september lalu. Alhamdulillah bulan Nopember-Desember berhasil lulus test.

Rasa tak percaya bahwa diterima jadi CPNS karena saya tidak pernah sepeserpun berusaha memberikan uang pelicin atau sogokan agar diterima. Niat awalnya cuma coba-coba mendaftar dan cari pengalaman karena hati tidak yakin bisa lulus. Menurut cerita orang yang pernah mengikuti seleksi CPNS, agar lulus harus mengeluarkan duit sampai belasan juta rupiah. Waduh..jangankan uang segitu banyak, orang tua saya di desa cuma bertani sehingga uang sejuta pun sangat jarang ada ditangan.

Alhamdulillah, kembali hati bergetar serasa diguyur es. Bergetar dan dingin entah apa sebabnya. Dengan tangan gemetar dan mata sedikit berkaca-kaca perlahan mulai terbaca Surat Keputusan Bupati HSS tersebut. Isinya menyebutkan bahwa saya diangkat sebagai CPNS, bla..bla..blaa dengan tempat tugas SMPN 2 Daha Selatan.

Setelah mulai sadar dan pikiran kembali ke alam nyata, hati mulai bertanya. Dimanakah gerangan letak SMPN 2 Daha Selatan. Perlu diketahui saya aslinya orang HST bukannya orang HSS jadi belum tahu seluk beluk kabupaten ini. Menginjak Kandangan saja saat mengikuti test CPNS ini saja.

Seorang yang tak saya kenal disamping memberikan penjelasan. "SMPN 2 Daha Selatan itu terletak di Bajayau" katanya. Saya kembali bertanya "Nah..kalau Bajayau itu sendiri di mana?". Dia pun tertawa, "Masa Bajaya saja tidak tahu, itu tuh sebuah daerah di Nagara". Saya pun menggumam sendiri "Ohhhh..Nagara! Kalau nagara pernah dengar walaupun belum pernah ke sana".

Setelah pulang kerumah saya cerita kepada orang tua. Mereka sangat senang dan bahagia melihat saya diterima jadi CPNS. Terkabul akhirnya doa sederhana mereka: "Ya Allah yang Maha Pemurah, Berikanlah anak-anak kami penghidupan yang lebih baik daripada keadaan kami". Akhirnya mereka bertanya saya ditempatkan di mana?. Bajayau, jawab saya singkat tanpa beban karena tidak tahu apa, bagaimana dan dimana daerah itu. Pokoknya yang ada dihati saya, diterima bekerja jadi Guru Negeri tanpa menyogok sudah syukur luar biasa. Masalah ditempatkan diujung duniapun rasanya tidak akan membuat saya takut.

Ayah saya yang sudah pernah pergi ke Nagara memberikan penjelasan. Nagara itu sebuah kota kecamatan yang jauhnya 30 km dari kota Kandangan. Keadaan alamnya merupakan daerah yang dikelilingi air karena merupakan kawasan rawa. Di sana banyak pula terdapat kerajinan besi dan alumunium selain mata pencaharian mencari ikan. Jadi jangan heran melihat panci, kuali, wajan dan perkakas alumunium lainnya di produksi di sana.

Ibu saya turut menghibur. Nak, kata beliau, sejauh-jauhnya sekolah SMP biasanya di kota kecamatan. Tidak seperti sekolah SD yang bisa terletak jauh di pelosok. Jadi jangan khawatir paling-paling SMPN 2 Daha Selatan itu di ujungnya kota Nagara.Akhirnya kami lewati malam itu dengan memperbanyak rasa syukur. Walau bagaimanapun sulit atau jauhnya tempat tugas dari kampung halaman, toh saya telah membuat sebuah prestasi gemilang di keluarga kami. Baru saya satu-satunya yang sukses kuliah walaupun anak petani miskin. Terlebih lagi baru saya satu-satunya dikeluarga kami dan tetangga jiran dekat, yang bisa menjadi Guru Negeri atau PNS, yang utama saya tidak menyogok untuk lulus test ini sehingga sampai akhir hayat bisa menikmati pekerjaan dan gaji tanpa dihantui perasaan takut akan halal-tidaknya gaji yang saya terima nanti.

Sebelum pergi tidur saya dan ayah menyiapkan barang yang akan dibawa besok. Perintah BKD HSS ,besok harus langsung lapor ke Disdik kabupaten setelah itu langsung lapor ke sekolah. Pokoknya besok harus sudah sampai di SMPN 2 Daha Selatan. Siapa tahu perjalanan jauh dan mengharuskan bermalam tentu saja harus menyiapkan sedikit bekal makanan dan peralatan untuk tidur dan mandi.

Pagi itu hari Selasa tanggal 13 Januari 2004. Saya mengenakan pakaian hitam putih kembali. Setelah pamit saya langsung berangkat ke Kandangan dengan sepeda motor pinjaman sepupu. Maklum vespa tua yang saya pakai sejak kuliah udah tidak mau kompromi lagi alias udah tidak mau dihidupkan mesinnya. Sesampai di Disdik HSS saya bertemu sekitar 80an orang guru baru seperti saya. Setelah kenalan dan tanya sana-sini akhirnya ditemukan 3 orang yang bernasib sama "terdampar" di Bajayau. Ada Pak Fahmi guru Olah Raga, Pak Bahri Guru Bahas Inggris dan Bu Sanah Guru PAI. Sambil bergurau kami saling tanya mengapa bisa "terdampar" di Bajayau. Ternyata kami berempat punya satu kesamaan, yakni tidak bisa "mengurus" tempat penempatan. Soalnya beredar rumor, bagi yang mau memilih tempat penempatan tinggal datang ke "sang Pejabat" dan memberikan sedikit "Uang terima kasih" maka bisa memilih alternatif tempat tugas yang dekat saja.

Menurut rekan-rekan CPNS yang berasal dari Kandangan, Bajayau dulunya disebut "tempat pembuangan". Tempat tugas yang jauhnya puluhan kilometer dari Kandangan dan senasib sepenanggunan dengan "Loksado". Tapi kami udah bertekad bulat, maju terus pantang mundur. Pokoknya hari ini sudah harus sampai di sana dan lapor sama kepala sekolah. Sekalian minta dibikinkan SPMT sebagai syarat kelengkapan yang diminta BKD.

Kami berempat berangkat dari Kandangan pukul 11:00 Wita dan sampai di Nagara sekitar pukul 12:00 Wita. Saat istirahat di warung sambil minum kami bertanya pada penduduk disana, "Bajayau itu dimana?". Mereka menjelaskan bahwa kalau mau pergi ke Bajayau hanya bisa lewat jalan sungai alias naik kelotok (sejenis perahu bermotor). Tapi sayang, kata mereka, kelotok taksi hanya ada pada hari Senin, Rabu dan Jumat yang merupakan hari pasar di Nagara.
Duh..hati mulai sedikit gelisah. Bagaimana dong agar kami bisa pergi ke sana? apa harus berenang. Untunglah masih ada alternatif lain, yakni mencarter sebuah klotok pulang-pergi ke Bajayau. Ya, jadilah dicarter soalnya tidak ada pilihan lain. Biayanya sih sedikit mahal untuk ukuran kami tapi setelah dibagi berempat akhirnya jadi juga berangkat.

Sepeda motor kami titipkan ditempat parkir dengan catatan bila sore kami tidak datang berarti tolong disimpankan karena kami bermalam di Bajayau. Setelah itu..petualangan pun dimulai....
Ternyata enak juga naik klotok di Nagara ke Bajayau. Sepanjang tepian sungai terlihat aktivitas penduduk Nagara. Banyak terlihat kerajinan logam dan proses penempaan parang. Bunyi tang-ting-tong yang berasal dari suara logam olahan memberikan nuansa yang khas. Deretan rumah "aneh" yang mempunyai dua bagian depan. Bagian depan pertama dengan pintu dan lainnya menghadap ke jalan di tepi sungai. Tapi bagian depan lainnya menghadap sungai. Jadi dari pinggir jalan kita bisa "menamu" (meminjam istilah SQ) dan dari pinggir sungai kita bisa masuk rumah juga.

Setelah sekitar 5 km menyusuri sungai Nagara kearah hilir maka pemandangan pun berganti. Kalau sebelumnya terlihat suasana kota kabupaten unik di pinggiran sungai, sekarang telah berganti dengan pemandangan rawa seluas mata memandang. Sehabis kota Nagara maka tinggal satu dua rumah lanting kecil di pinggir sungai. Selain itu terlihat hanya rawa yang seolah-olah membentang sampai nun jauh disana berbatasan dengan kaki langit. Air yang jernih, ikan berloncat-loncatan. Sesekali terlihat jukung (perahu kecil) nelayan mencari ikan. Terkadang klotok kami berpapasan dengan kapal barang sebesar rumah bertingkat dua. Menurut pengemudi kelotok yang kami sewa, kapal itu baru saja datang dari Banjarmasin membawa barang dagangan ke Nagara dan sebaliknya.

Perjalanan ini terasa mengasyikan sehingga tidak terasa sudah 1 jam kami menyusuri sungai yang lebar ini kearah hilir. Beberapa kampung kecil muncul silih berganti. Tapi belum juga terlihat dimana tanda-tanda lokasi SMPN 2 Daha Selatan. Kami sedikit risau karena tidak seorangpun dari kami berempat ini yang pernah pergi ke sana. Jadi hanya bermodalkan nekat dan sedikit sok tahu. Kepada pengemudi kelotok yang juga tidak tahu dimana sekolah tsb kami katakan, Antarkan saja ke Bajayau, nanti di SMPN 2 Daha Selatan kita singgah. Hee.he.he..nekat juga.



Sesudah beberapa saat terlihat perkampungan kecil di tepi sungai telah habis. Yang tersisa hanya rawa dan sedikit hutan galam dengan aneka satwa khasnya. Duh, batin mulai gelisah dimanakah gerangan tempatnya SMPN 2 Daha Selatan. Sepertinya sudah tidak ada lagi pemukiman manusia, kok pengemudi kelotok tenang saja meneruskan perjalanan. Kami tanya, Pak, sudah sampai di Bajayau atau belum?. Dia menjawab belum, sebentar lagi.
Ternyata predikat "Daerah Terpencil" yang disematkan kepada Bajayau bukan tanpa alasan. Selain harus menempuh jalan darat 30km ternyata harus menempuh jalan sungai sudah sejam lebih belum terlihat juga.
Kami berempat sudah tidak bisa bersuara lagi. Badan sudah lelah, perut mulai lapar, kepala mulai pusing karena mambok naik kelotok. Akhirnya kami berempat tertidur dengan harapan setelah bangun sudah sampai di "negeri antah berantah" yang bernama Bajayau.

Benar juga, setelah setengah jam lebih tertidur kami akhirnya dibangunkan pengemudi kelotok. Ternyata sudah sampai di Bajayau. Tidak seperti dugaan kami, Bajayau merupakan perkampungan yang cukup ramai. Hampir 3 km sepanjang sungai ini dihuni oleh penduduk yang mayoritas nelayan. Rumah-rumah diatas tiang di pinggir sungai, dengan deretan jukung dan kelotoknya memberikan suasana khas nelayan. Dimana-mana terlihat jemuran ikan kering dan keramba. Sikap penduduk sangat ramah dan bersahaja. Duh..hati jadi bersemangat kembali.
Walaupun kami ditempatkan didaerah yang masuk kategori terpencil di HSS, yakni Bajayau, tapi suasana khas rawa memberikan perasaan lain saat bertugas di sini nanti. Gambaran akan anak-anak yang bersahaja, sekolah yang sederhana, mengajar diatas rawa sungguh memberikan gairah tersendiri bagi yang sudah jenuh bekerja atau mengajar di kota besar dengan segala hiruk pikuk dan kepadatan lalu lintasnya.
(Bersambung).

6 komentar:

  1. Pak Syam? kalau waktu itu 13 Januari 2005. Tepatnya 3 tahun 9 bulan lalu, berapa umur anda waktu lulus CPNS itu?

    BalasHapus
  2. Saya cek profil anda. Kalau sekarang bapak berumur 30 tahun, berarti, waktu itu umur bapak 27 tahun?

    Kalau bapak lulus dari Unlam september tahun 2005. kita flashback sedikit pak? (maaf bila sedikit melenceng) kita sempat satu fakultas selama 3 tahun. Tidak beda jauh. Kalau boleh tahu, kenapa bapak memilih Pend. Matematika?

    BalasHapus
  3. Sorry..salah ketik harusnya 13 Januari 2004 Sedangkan test CPNS Nopember-Desember 2003, yudisium saya September 2003, masuk kuliah di FKIP 1999.
    Saya memilih prodi Matematika teringat nasehat Guru Matematika waktu SMP. katanya belajar matematika cukup bermodal pensil dan pulpen walaupun sampai kuliah S3 ke luar negeri.Tak perlu beli bahan praktek ini-itu, tak perlu lab, tak perlu praktikum ini itu, he.he..he..saya sih pilih yang hemat saja.

    BalasHapus
  4. saya sungguh menikmati membaca kisah ini, pak syams. rasanya saya turut berada di sana, mengikuti perjalanan sungai dengan kelotok, melihat barisan desa dan dusun tepi rawa, mendengarkan denting orang mengerajin.

    wah, salut sekali dengan orang-orang yang mengabdi seperti pak syams dan rekan-rekan.

    BalasHapus
  5. Kalau begitu saya lebih hemat donk pak. Soalnya saya alumni B. Inggris. Kemana-mana cuma bermodal bahasa. he..he :lol: (nggak jelas)

    Cuma terkadang di kampus, banyak yang bilang, orang-orang bahasa cuma pintar omong doang. Makanya saya mau buktiin. Bikin buku dan nulis banyak2.

    BalasHapus
  6. @Marshmalloh: yap..kalau mau liburan dan tamasya yang beda dan sepi....calling aja nanti saya antar keliling rawa Kalimantan melihat kerbau rawa, he.he..he..menghayal

    @SQ:Ah masa sih, menurut saya lebih hebat modal pensil, kalau modal bahasa kan susah kalau pas lagi sariawan, he..he..he

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar anda.