14 September 2008

Keadilan Sosial – Prinsip Yang Paradoks

Pertengahan Agustus 2008 lalu, pada final pemilihan Putri Indonesia, pemandu acara mengajukan sebuah pertanyaan kurang lebih seperti ini: “Kenapa mukadimah UUD 45 tidak diubah pada saat amandemen UUD 45 tahun 2002?”

Tiga finalis menjawab kurang lebih sama yaitu bahwa mukadimah UUD 45 sudah sempurna dan mengandung Pancasila yang merupakan cerminan kepribadian bangsa Indonesia. Jawaban mereka seperti beo yang diajari menghapal buku sejarah kebangsaan atau kewarganegaraan (dulu disebut civic). Mereka tidak tahu bahwa pada Pancasila banyak terdapat ketidak jelasan. Misalnya sila ketuhanan yang maha esa. Apa maksud maha esa, apakah tuhan harus satu saja. Kalau maha esa berarti paling hanya ada satu tuhan saja, yakni tuhan yang paling maha, tentu saja hal ini tidak bila diterapkan dalam kondisi sekarang akan menimbulkan gejolak. Lihat saja agama Kristen mereka mempercayai ada tiga Tuha, Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus. Demikian pula agama Hindu mengenal banyak sekali "Tuhan" yang diistilahkan dengan dewa yang mereka puja. Coba pikir, apakah Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esanya dapat mengayomi semua agama tadi. Kayaknya tidak dech, kalau memang benar-benar mau diterapkan tentu hanya agama Islam yang diakui di Indonesia karena Tuhan-nya orang Islam hanya satu, yakni Allah.

Keadilan sosial secara logika adalah paradoks. Adil tidak bisa disatukan dengan sosialisme. Mari kita buktikan. Adil artinya: “ada korelasi antara usaha dan hasil”. Kalau anda menanam padi, memelihara dengan baik, kalau tidak ada hama dan force majure, maka anda akan memanen padi anda, dan bukan jeruk. Pada sistem sosialis tidak demikian. Antara usaha dan hasil tidak ada kaitannya. Misalnya, salah satu prinsip sosialime adalah pemerataan kesejahteraan, pemerataan kekayaan, persamaan kesempatan, sama sekali berlawanan dengan keadilan. Orang yang rajin dan cerdas berusaha maka dia akan memperoleh kesempatan yang lebih besar dari pada yang malas dan bodoh. Orang yang berkerja dengan giat dan cerdas akan memperoleh jenjang karier dan kenaikan pangkat yang lebih cepat, uang yang lebih banyak, dsb. Itu akan ditekan di sistem sosialisme. Pemerintah akan merampas sebagian hasil keringat orang yang giat, rajin dan cerdas bekerja dengan alasan pemerataan dan kemanusian, melalui pajak progresif atau lebih ekstrim lagi penyitaan.

Alam ini adil. Demikian fitrahnya. Kalau anda menanak beras, jadinya nasi atau bubur dan tidak mungkin..... kadang berlian, kadang emas atau kadang tahi kucing. Ini adalah hukum alam. Usaha-usaha yang dasarnya menyimpang dari hukum alam ini, pasti gagal. Tujuannya tidak tercapai. Jika tujuan sosialisme adalah untuk memakmuran bersama, maka niscaya akan gagal. Kalau penguasa menghukum orang yang produktif dengan merampas hasil keringatnya, ini merupakan disinsentif untuk bekerja lebih produktif. Kalau dengan bermalas-malasan bisa hidup enak, kenapa mesti capek? Bila kultur ini tumbuh, maka masyarakat secara kolektif tidak produktif dan melarat.

Jadi apakah mukadimah UUD 45 sempurna? Paling tidak ada 2 hal yang harus diperbaiki. Yakni Sila Pertama dan Sila Kelima. Nah, bagaimana menurut anda?

15 komentar:

  1. Waduh...jadi tergelitik ingat "doktrin" waktu duduk di bangku sekolah dahulu bahwa "Pancasila itu Sakti". Saking saktinya nggak ada yang berani mengotak-atik Pancasila. Tapi sekarang udah beda ya, jaman reformasi. Buktinya anda berani mengkritik Pancasila dan melempar wacana untuk memperbaiki Sila Pertama dan Sila Kelima. Salut.

    BalasHapus
  2. Bukan saya anti Pancasila atau menghujat Pancasila. Kritik dan saran perbaikan saya rasa sangat baik dan positif bagi kehidupan bernegara kita. Karena tidak ada satupun sistem atau hal buatan manusia yang sempurna. Termasuk Pancasila dengan segala kelebihan dan kekurangannya patut kita pikirkan bersama.

    BalasHapus
  3. iya juga ya pak emang yang terpampang di postingan bapak hehehe
    jadi mendalam sekali nih dan membuka wawasan kewarganegaraan saya
    salam salut dari gunungkelir

    BalasHapus
  4. Kesempurnaan hanya milikNya...

    Kita tidak bisa melepaskan sifat Mahaadil Allah dari sifat Mahakuasanya, juga Mahaberkehendaknya.........

    BalasHapus
  5. saya setuju dengan analisa Mas Guru soal intrepreasi pancasila yang masih absurd alias belum jelas bener.

    Saya kira banyak dibutuhkan org sekritis mas Guru untuk menyikapi tentang persoalan2 bangsa yng fundamental...saya bermakmum Mas Guru..

    BalasHapus
  6. dalam pengertian Iman nasrani ..yg bapak katakan ada tiga itu menurut konsepsi trinitas tetap satu ..
    dalam iman hindu..Tuhannya juga satu (braman) dewa-dewa lainnya selebihnya mirip dengan konsepsi islam dengan malaikat nya...(segini aja deh..takut jatuhnya Flame nanti..he..he..)

    BalasHapus
  7. dalam pengertian Iman nasrani ..yg bapak katakan ada tiga itu menurut konsepsi trinitas tetap satu ..
    dalam iman hindu..Tuhannya juga satu (braman) dewa-dewa lainnya selebihnya mirip dengan konsepsi islam dengan malaikat nya...(segini aja deh..takut jatuhnya Flame nanti..he..he..)

    BalasHapus
  8. Oh ya, mohon maaf atas kalau pengertian saya tentang konsep trinitas berbeda dengan pengertian judichung sebagai penganut iman kristiani. Kalau memang demikian benar bahwa trinitas ternyata walau berbeda tetap satu kesatuan, maka postingan saya ralat "menurut penganut kepercayaan kristiani, Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh kudus walaupun disebut trinitas tapi menurut iman kristiani tetap satu".
    Semoga hal ini dapat diterima semua pihak.

    BalasHapus
  9. memang bukan hal yang mudah utk menemukan keadilan di muka bumi ini, pak syam. setiap orang agaknya punya tafsir sendiri2 ttg makna keadilan itu. seorang sosialis tentu sangat beda penafsirannya dg kaum liberalis. agaknya pancasila memang perlu terus digali, pak, agar nilai2nya selalu aktual dan kontekstual sepanjang peradaban di negeri ini.

    BalasHapus
  10. salut atas tulisan bapak yang mengajak pembaca melek dengan propaganda istilah yang ngawur dan menurut saya lebih kearah pembodohan dan sy tidak melihat pancasila suatu panutan melainkan suatu tameng yang dipakai untuk menutupi kebiasaan buruk pemerintah, walau pancasila sebenarnya bermaksud baik!!...koreksi kalau salah pak!

    dr. Muh. Iqbal

    BalasHapus
  11. waduh pak jangan salah paham...saya muslim..walau belum muslimin..he..he..Insya Allah tetap muslim sampai akhir hayat..hanya saja saya memang sering berdiskusi mengenai ketuhanan ...dan selalu mencoba memahami tanpa menghakimi...kebetulan saya dan orangtua (bapak) berbeda keyakinan..tapi orang tua saya tidak pernah melarang anaknya untuk mencari agama yg diyakini anak-anaknya..prisnsipnya tetaplah jadi orang baik dan berguna bagi masyarakat...he..he..

    BalasHapus
  12. Alhamdulillah, semoga tulisan ini tidak jadi polemik karena hanya sekedar timbulnya pemikiran kritis melihat kembali Pancasila.

    BalasHapus
  13. Yap. Hidup adalah sesuatu yang dijalani. Bukan hapalan teori. Pancasila berkata demikian tapi tak demikian adanya. tetap saja, hidup ya hidup.

    Hanya saja, berapa banyak orang yang mau membuka matanya terhadap hal-hal sedemikian? dan berbuat.

    BalasHapus
  14. uma ai, pintarnya sampean PAAk, ulun angkat topi dan acungkan lima jempol hagan sampiyan, memang kalau dikritisi ada banyak hal di negeri kita ini yang masih samar dan selalu mengundang multiinterpretasi, semoga akan lebih banyak bermunculan orang-orang kaya sampean....salam kenal URANG NAGARA ASLI

    BalasHapus
  15. Awalnya yang membaca tulisan Anda adalah keponakan saya yang baru kelas 2 SMP. Dia merasa heran dengan tulisan Anda, lalu saya coba baca, dan saya pun merasa heran pula. Entah anda menulis ini karena kekecewaan terhadap pemerintah, dalam rangka iseng, atau serius, saya tidak tahu. Tapi anda membuka publik untuk berkomentar, maka ijinkanlah saya untuk memberikan komentar.

    Anda mempertanyakan makna Tuhan Maha Esa pada sila pertama. Dalam kajian filsafat ketuhanan, arti Esa dibagi ke dalam tiga bagian; Pertama esa yang berarti bilangan (sebagai angka), yaitu 1, 2, 3, dan seterusnya..... Kedua, esa dalam arti penegasian, artinya hanya ada yang 1, yang 2, 3 dan lainnya itu menjadi tidak ada. Ketiga esa dalam artian kesatuan, misalnya orang yang berkumpul bisa dikatakan satu jika mereka berada dalam satu wilayah yang sama, seperti satu kelas, satu kelompok, atau satu golongan.
    Bagi umat Islam, Esa di sana adalah makna penegasian yang dinyatakan dalam La ilaha.
    Makna Tuhan – sebagai kebenaran – Maha Esa adalah bahwa hanya ada satu kebenaran, dan jika ada dua atau lebih, maka kebenaran itu gugur. Persoalan siapa yang paling benar, semua tidak ada yang bisa menjawabnya, yang bisa dilakukan hanyalah meyakini bahwa kepercayaan masing-masing kita adalah yang paling benar, hal ini sebagai bentuk kesetiaan kepada Tuhannya. Mengapa demikian, karena yang dapat manusia lakukan hanyalah usaha untuk sampai kepada kebenaran, dan bukan kebenaran itu sendiri. Jadi jika Anda ingin berbicara mengenai konsep kenegaraan atau konsep ketuhanan, maka posisikanlah diri Anda secara benar.

    Lalu Anda mengatakan ”...tentu saja hal ini tidak, bila diterapkan dalam kondisi sekarang akan menimbulkan gejolak”. Gejolak seperti apa yang anda maksud?. Anda mencontohkan persolan Maha Esa ini dengan menyebut agama Kristen dan Hindu. Saya pribadi sudah sering berdiskusi dengan orang Kristiani, dan sila pertama pada Pancasila itu menurut mereka tidak bertentangan dengan ajaran mereka. Apakah anda pernah berdiskusi dengan mereka?. Soal agama Hindu, apakah anda mengerti konsep ”Tri Hita Karana” yang dipegang oleh umat Hindu?, atau apakah anda sudah pernah membaca Badhavatgita yang banyak menjelaskan konsep ketuhanan Hindu?. Jika tidak pernah, maka saya memaklumi pernyataan anda.

    ”Hindu mengenal banyak sekali "Tuhan" yang diistilahkan dengan dewa yang mereka puja.” Just information; Tuhan dalam agama Hindu itu disebut ”Sang Hyang Widi” yang kualitasnya mereka anggap lebih dari sekedar dewa, dan istilah dewa buka hanya ada dalam agama Hindu. Tetapi Budha, Tao, atau Zoroaster juga mengenal istilah dewa itu.

    Anda bertanya ”apakah Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esanya dapat mengayomi semua agama tadi?”. Sudah jelas jawabannya ”YA”. Bahkan bukan hanya mengayomi, sila pertama adalah bentuk penghormatan Pancasila kepada manusia yang meyakini adanya Tuhan. Selain itu, sila pertama juga sebagai senjata dalam menghadang faham komunisme yang tidak mempercayai adanya Tuhan, karena sumber doktrin mereka adalah materialisme. Sayang.... argumen anda hanya sebatas ”kayaknya...”, tidak atas pemikiran yang benar.

    Anda kemudian membicarakan keadilan sosial. ”Keadilan sosial secara logika adalah paradoks”. dan tiba-tiba anda berkata ”Adil tidak bisa disatukan dengan sosialisme.” Kata ’sosial’dalam ’keadilan sosial’ berbeda dengan sosialisme. Coba anda fikirkan, apakah industi dengan industrialisme sama?, materi dengan materialisme?, atau modern dengan modernisme?, jelas! itu dua kata tersebut berbeda. Sosialisme adalah sebuah faham yang berakar pada filsafat materialisme, yang jika anda terlusuri sejarahnya maka anda akan bertemu dengan tokoh yang bernama Thales. Materialisme ini kemudian dipakai oleh Karl Marx dengan logika produksi (modal, buruh, upah) sebagai prasyarat terciptanya masyarakat komunis. Sosialisme lebih lanjut dikembangkan oleh Lenin yang kemudian dikenal dengan faham marxisme-leninisme.

    Sedangkan arti kata sosial adalah segi kehidupan manusia yang di dalamnya terjadi hubungan individu dengan individu, individu dengan alam, dan individu dengan pemerintahnya. Keadilan sosial berarti setiap individu harus diperlakukan adil dalam setiap segi kehidupan sosial. Segi sosial itu bisa politik, ekonomi, pendidikan, atau kesejahteraan. Jelas keadilan sosial akan paradok karena logika anda keliru.

    “Adil artinya: “ada korelasi antara usaha dan hasil”. Kalau anda menanam padi, memelihara dengan baik, kalau tidak ada hama dan force majure, maka anda akan memanen padi anda, dan bukan jeruk.” Yang Anda sebutkan itu bukan arti adil, tetapi hukum kausalitas. Contoh lain: Jika saya memukul anda, anda akan merasa sakit, atau jika saya melempar anda dengan tahi kucing anda akan merasa sakit. Itu adalah hukum kausalitas (sebab-akibat). Adil memiliki dua arti. Pertama, meletakan sesuatu pada tempatnya, dan kedua memberikan hak kepada yang wajib menerimanya. Jika anda memakai sepatu di kepala, maka anda sudah berlaku tidak adil. Atau jika seorang ayah memberi uang 5 ribu kepada anaknya yang masih TK dan memberikan jumlah yang sama kepada anakanya yang lain yang sudah SMA, maka si ayah itu sudah berlaku tidak adil.

    Wallahua’lam bissawab. Demikian komenter yang bisa saya berikan terhadap – entah tulisan atau apa – pernyataan Anda. Mari kita belajar lebih dewasa, teliti, hati-hati, dan yang terpenting rendah diri, agar kita tidak menjadi beo seperti yang anda katakan. Jika Anda berniat membalas komentar saya, silahkan kirim ke emali: supriadi_1983@yahoo.com.

    Namun jika Anda tidak ingin membalas komentar saya, dengan segala kerendahan hati izinkanlah saya mengajukan pertanyaan kepada Anda:
    1. Pada bagian awal Anda menyebutkan ”Mereka tidak tahu bahwa pada Pancasila banyak terdapat ketidak jelasan.” Sebutkan satu-persatu ketidak jelasan lain yang belum Anda nyatakan?
    2. Anda menyebutkan ”....Pada sistem sosialis tidak demikian. Antara usaha dan hasil tidak ada kaitannya. Misalnya, salah satu prinsip sosialime adalah pemerataan kesejahteraan, pemerataan kekayaan, persamaan kesempatan, sama sekali berlawanan dengan keadilan....” Dari mana Anda mendapat informasi itu, atau buku apa yang Anda baca?
    3. Coba jelaskan ontologi, epistemogi, dan aksiologi dari sila pertama dan kelima pada Pancasila?
    4. Pada bagian akhir Anda berkata ”Jadi apakah mukadimah UUD 45 sempurna? Paling tidak ada 2 hal yang harus diperbaiki. Yakni Sila Pertama dan Sila Kelima.” Nah, bagaimana saran Anda / apa saran Anda untuk perbaikan tersebut?

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar anda.